Monday, February 20, 2012

Gelar vs Kompetensi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRc55HaHWoPsfjyA372OUgbMieoeSI5SlqYxici5EdOxppQTvu6HJeKe8qGE0CR9tgM8UC1I6RQQ7WOxKOfSyxpA26g92howX0n_GRluFP7j6ROrLEucAPzR2EBZRcekYNFSaT0kEro5GH/s1600/title.jpg
“Satria, anakku asyik bekerja dan tidak mau meneruskan kuliah. Ia yakin banget bisa hidup meski tanpa ijazah sarjana. Tapi aku ingin dia meneruskan kuliahnya dulu sampai selesai dan setelah itu kembali meneruskan pekerjaannya. Tapi otomatis ia harus berhenti bekerja dulu. Anak saya akhirnya manut tapi katanya ia akan melakukan itu hanya demi ibu dan akan menyerahkan ijasahnya kepada saya nanti. Bagaimana pendapatmu sebagai orang tua, Sat?”
Seorang teman bertanya pada saya kira-kira seperti itu melalui surel dan saya tertawa geli membacanya. Kalau ia berharap dukungan dari seorang ‘veteran dan sekaligus ketua organisasi guru’ seperti saya dalam soal sikap anaknya ini maka ia bertanya pada orang yang salah. Saya tidak akan mendukungnya. Saya justru akan mendukung anaknya. :-)

Pertama, saya tidak percaya pada ijazah. It’s just a piece of paper yang menyatakan bhw seseorang telah melewatkan (atau mungkin menyia-nyiakan) sekian tahun waktunya utk belajar bidang tertentu. Jika ia berprestasi di sekolah maka itu juga tidak berarti bhw ia akan bisa berprestasi dalam kehidupan. Apa yg dipelajarinya di sekolah bisa-bisa malah menghambatnya dalam berprestasi di dunia nyata. Ia mungkin akan tertipu dan akhirnya berilusi bahwa kehidupan nyata akan sama dengan mata kuliah yg dipelajarinya.

Ijasah itu penting dan wajib bagi mereka yg mau berkecimpung di dunia akademik karena ijazah dan gelar dijadikan acuan utk peningkatan karier. Jadi yg pendidikannya S3 dg gelar Doktor tentu akan lebih mudah berkarir di dunia akademik ketimbang yg hanya S2. Tapi kehidupan dunia ini kan begitu luasnya sehingga dunia akademik itu hanya satu keping saja di antara keping-keping kehidupan lainnya. Lagipula, tanpa gelar dan ijazah pun seseorang tetap bisa menunjukkan kompetensi intelektualnya di masyarakat dan tidak kalah dg yg bergelar akademik. Gelar akademik tidak menjamin seseorang adalah sekaligus intelektual.

Intelektualitas itu kompetensi individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak secara ilmiah atau secara waskita. Kalau Anda membaca riwayat hidup Umar bin Khattab dan Ali r.a yg tidak pernah ‘makan sekolahan’ maka Anda akan kagum dengan kemampuan intelektual mereka. Banyak akademisi bergelar professor doktor yg bicaranya tak mencerminkan sedikit pun nilai-nilai ilmiah atau sikap waskita. Asal ngacapruk aja, kata orang.

Kedua, saya juga semakin lama semakin meragukan efektifitas sekolah dalam membekali siswanya akan bekal hidup di masa depan. Sekolah-sekolah kita itu seolah hidup dalam ilusinya sendiri akan pentingnya peran mereka. Mereka asyik dengan kurikulum yg mereka jejalkan pd siswa-siswa mereka yg samasekali tidak berorientasi pada masa depan dan tidak membekali siswa mereka dengan kemampuan berpikir dan belajar. Kebanyakan apa yg mereka berikan justru tidak ada maknanya bagi kehidupan siswa mereka kelak di dunia nyata. Kebanyakan dari sekolah tidak paham bahwa pendidikan itu harus didesain utk mempersiapkan siswa utk hidup di masa depan dan terus saja menjejali siswa-siswa mereka dg pengetahuan kuno mereka ttg kehidupan di masa lampau. Jadi alih-alih membuat siswa mereka siap menghadapi kehidupan sekolah justru menjauhkan mereka dari realita kehidupan nyata yg mereka hadapi sehari-hari.

Ketiga, gelar akademik justru bisa menipu. Tidak ada bukti bahwa si pemilik gelar memiliki kompetensi di bidang yg ia geluti. Memiliki gelar sederet itu tidak identik dengan memiliki ilmu. ‘Bergelar’ dan ‘berilmu’ itu dua hal yg berbeda. Sering sekali saya mengikuti dan memberi seminar di berbagai daerah dengan para penyandang berbagai gelar akademik yg nggegirisi yg ternyata bahkan tidak paham dengan apa yg dipresentasikannya…! Saya sampai heran dengan kenekatan mereka utk bicara mengenai hal yg tidak mereka pahami. Rupanya mereka dengan sengaja memanfaatkan keawaman masyarakat soal kompetensi dan gelar akademik dan menerima saja tawaran memberi seminar di mana-mana meski tidak paham dg materi yg diberikannya. Anehnya, meski jelas tidak kompeten tapi orang-orang semacam ini justru eksis. Masyarakat yg awam dikelabui oleh gelar akademik yg mentereng tapi nir-kompetensi. Saya seolah melihat fakta peribahasa ‘si buta (bergelar) menuntun si buta (yg tertipu)’.

Keempat ( ini agak personal), bagi saya hidup anak saya itu sepenuhnya miliknya. Saya hanya dititipi amanah anak tapi tidak berarti saya memiliki kehidupan mereka. Saya punya kewajiban utk mendidik dan memberikan fasilitas pendidikan sebaik yg saya mampu. Tapi saya tidak punya hak utk menentukan ke mana mereka mau pergi dan mau jadi apa mereka nantinya. Itu hak mereka sepenuhnya yg dijamin oleh Sang Pemilik. Hidup mereka sepenuhnya urusan mereka dengan Sang Pemberi Hidup. Kalau mereka mau melenceng ya apa boleh buat. Itu juga ketentuan Tuhan. Lha wong anak nabi aja punya hak utk tidak mengikuti tuntunan bapaknya kok.

Jika anak saya merasa yakin dengan hidupnya tanpa harus kuliah sekali pun, maka saya akan mendukungnya. Saya tidak akan mendukungnya kalau ia tidak mau kuliah hanya karena mau bermalas-malasan tentunya. Hampir semua anak kita ingin kuliah karena mereka tidak tahu harus berbuat apa setelah lulus dari sekolah menengah. Kuliah empat tahun hanya akan memberi mereka perpanjangan waktu utk memikirkan apa yg akan mereka lakukan setelah lulus nanti. Setelah lulus pun sebagian besar dari mereka masih belum tahu mau berbuat apa dengan hidupnya.

Sebagian dari mereka menambah lagi waktu kuliahnya agar punya tambahan waktu utk memikirkan apa yg akan mereka lakukan setelah lulus S2 nanti. Sungguh berbahagia anak-anak yg sudah tahu apa yg harus dilakukannya dg hidupnya tanpa harus bergantung pada gelar. Jadi ketika Bill Gates memilih hengkang dari Harvard adalah karena ia sudah yakin benar apa yg akan dilakukannya dengan hidupnya. Jadi utk apa membuang-buang waktu kuliah meski kuliahnya di kampus paling top di dunia? Kuliah dan punya ijazah dari Harvard bukanlah sebuah prestasi. Itu baru potensi bagi si pemilik ijazah utk menunjukkan karyanya.

Jadi kalau tanya saya bagaimana sikap saya kalau anak saya tidak mau kuliah dan lebih memilih bekerja maka saya akan membayangkan Bill Gates ketika bilang pada ortunya akan keluar dari Harvard dan fokus ke Microsoftnya. Pada saat itu akan saya jawab,”Sak karepmu, Le! It’s your life. You have the very right to decide what is best for your life.”.
(Tapi tentu saja jawaban saya tidak akan sama dengan jawaban emaknya. :-D )

Bis Damri, Cengkareng – Blok M, 17 Februari 2012
Salam
Satria Dharma

SUMBER : http://satriadharma.com/2012/02/17/gelar-vs-kompetensi/
http://satriadharma.com/

Saturday, February 18, 2012

Pentingnya Memahami Kebutuhan Emosional Anak

Anak dan remaja lebih dikendalikan oleh emosi-emosi mereka dari pada pemikiran rasional dan logis. Emosi ini menjelaskan mengapa anak dan remaja berperilaku demikian, termasuk perilaku yang merusak diri sendiri. Jadi jika kita ingin memotivasi mereka, sebaiknya kita pahami lebih dulu emosi yang mengendalikan mereka dan memanfaatkannya untuk mengarahkan perilaku dan pemikiran yang lebih memperdayakan.
Berikut adalah ketiga kebutuhan emosional anak:
1. Kebutuhan untuk merasa AMAN
Salah satu kebutuhan terkuat yang dibutuhkan soerang anak adalah perasaan aman. Aman didalam diri dan lingkungannya. Remaja mencari rasa aman dengan bergabung dengan sekelompok “geng” atau sekumpulan teman sebaya mereka, terlibat aturan sosial diantara mereka, serta meniru perilaku temannya.
Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.
Perlukah kita mempelajari dan mengetahui tangki cinta? Sangat perlu, saya seringkali merekomendasi para guru dan orangtua untuk mempelajari dan menemukan bahasa cinta anak mereka, dirinya dan pasangannya. Hal ini akan saya bahas pada artikel berikutnya).
Contoh, terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif, komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar permasalahan orangtua dan anak, serta guru.
“Mencintai anak tidak sama dengan anak merasa dicintai”
Apa yang menyebabkan kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi?
• Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain
Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.
• Mengkritik dan mencari kesalahan
Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar?”
Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).
• Kekerasan fisik dan verbal
Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi, hal ini sudah banyak kita temui di surat kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini, mencari perhatian dengan cara yang salah.
2. Kebutuhan akan pengakuan (merasa penting) dan diterima atau dicintai
Jarang sekali orangtua membuat anak-anak mereka merasa penting dan diakui dirumah. Sebaliknya banyak orangtua yang membuat anak mereka merasa kecil dan tidak berarti dengan ancaman: “lebih baik kerjakan PR-mu sekarang, atau…”
Apa yang ada dalam pikiran anak jika diperlakukan seperti itu? Kita orangtua justru senang jika anak melakukan hal yang kita perintah, tapi yang ada dipikiran anak adalah mereka merasa kalah dengan melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan cara seperti itu. Sehingga banyak anak yang menunda atau tidak mengerjakan apa yang ditugaskan orangtua (bahkan dengan ancaman sekalipun) untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya akan pengakuan.
Peringatan keras bagi orangtua: Jika anak-anak tidak merasa dicintai dan diterima oleh orangtua, mereka akan terdorong untuk mencarinya disemua tempat yang salah.
Keinginan seorang anak untuk diakui dan ingin dicintai begitu kuat, sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Jika mereka tidak mendapat pengakuan dengan cara yang benar maka akan menemukan dengan cara yang salah dan ditempat yang salah. Kebutuhan ini mendorong beberapa anak dan remaja untuk menggunakan tato, mengganggu anak lain, bergabung dengan geng pengganggu, mengecat rambut dengan warna menyolok, bertingkah laku seperti badut dan pelawak. Hal ini umumnya menyusahkan mereka sendiri, tetapi demi mendapatkan pengakuan dan diterima (mendapatkan perhatian).
Ada kasus ekstrim pada 16 april 2007, seorang siswa US Virginia Tech, Cho Seng-hui. Menembak dan menewaskan 32 siswa. Apa yang mendorong perilaku tersebut, sehingga dia melakukan hal yang begitu luar biasa gila? Dia melakukan hanya karena kebutuhan pengakuan dan rasa pentingnya begitu besar, tetapi tidak terpenuhi oleh orang-orang yang mengabaikannya dan menghinanya. Hal itu memaksanya keluar dari dunia logika dan merenggut nyawa orang lain serta dirinya sendiri, dalam pikirannya dia berpikir lebih baik mati bersama nama buruk dari pada hidup bukan sebagai siapa-siapa.
3. Kebutuhan untuk mengontrol (merasa mandiri atau keinginan untuk mengontrol)
Seiring pertumbuhan anak, sembari mencari identitas diri dan sambil belajar membangun kemandirian dari orangtua. Proses ini menciptakan kebutuhan emosional untuk bebas dan mandiri.
Jadi itu sebabnya anak tidak mau didikte untuk apa yang harus dilakukan. Mereka merasa tidak “gaul” mendengarkan orangtua. Dengan mendengarkan nasihat orangtua mereka seakan diperlakukan seperti anak kecil. Ini menjelaskan mengapa anak lebih mendengarkan teman mereka dan om atau tante (paman atau bibi) yang masih muda dari pada orangtuanya sendiri.
Orangtua yang cerdas, tidak akan menyerah menghadapi hal ini. Bagaimana caranya memberikan arahan dan agar anak mau mendengar orangtua? Gunakan komunikasi yang tidak bermaksud memaksa anak dengan nasihat kita. Buatlah seakan-akan mereka belajar dan bekerja keras untuk diri mereka sendiri bukan untuk kita. mereka akan lebih bersemangat dan termotivasi dengan cara seperti itu. Dan yang terpenting adalah memenuhi tangki cinta anak kita setiap hari dan memastikan selalu penuh saat bangun anak bangun tidur dan menjelang tidur. Dengan begitu anak tahu siapa yang paling mengerti dan sayang, serta kepada siapa dia akan datang pada saat membutuhkan seseorang untuk mendengar, yaitu kita orangtuanya.
Ambilah manfaat dari informasi ini, kenali kebutuhan emosi anak kita. Pekalah dimana saat anak membutuhkan penerimaan, kebutuhan untuk mengontrol sesuatu, serta butuh untuk aman. Gunakan kata-kata yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut, berikut tips dan cara memenuhi kebutuhan emosi dasar seorang anak:
1. Rasa aman:
• Tenang sayang kamu aman bersama papa, mama akan temani kamu, hey… papa disini bakal jaga kamu sayang
2. Rasa penerimaan atau dicintai:
• Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”
• Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak
• Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)
• Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik
3. Kebutuhan untuk mengontrol:
• Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu sendiri maka ijinkanlah
• Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa
• Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan (tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)
• Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain

Sumber : http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-memahami-kebutuhan-emosional-anak/